Dibalik Cerita
Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh
SEBELUM
DI REHAB
Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi
Sejarah Aceh
Mesjid Baiturrahman telah menjadi simbol
Aceh. Menelusuri sejarah Mesjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini,
ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. dimulai dari masa kesultanan,
penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya.
Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga bencana tsunami. Rumah
ibadah ini menyaksikan semuanya
Sejarah mencatat, Baiturrahman kembali
melewati satu babak dalam sejarah masyarakat Aceh. Mesjid ini merupakan simbol
Aceh. Perjalanan Mesjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap
rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok Mesjid berkubah lima ini dan
sedikit mengenal sejarahnya.
SESUDAH DI REHAB
Mesjid ini sudah berada di tengah kota
Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang
menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun Mesjid ini pada abad ke
13. Dalam versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa
kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana
yang benar. Nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan
Iskandar Muda. Pada masa itu Mesjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan
ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik mesjid mengikuti alur
sejarah bumi Serambi Mekah. Bangunan yang kelihatan sekarang bukanlah lagi
bangunan semasa zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur
Baiturahman mirip Mesjid-Mesjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap
segi empat dan bertingkat yang memiliki 1 kubah. Pada 1873, mesjid ini dibakar
oleh Belanda dikarenakan mesjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan
Belanda. Dan pada tahun itu pula terjadi pertempuran besar antara rakyat Aceh
dengan tentara Belanda. Tembak menembak yang membuat gugurnya salah seorang
perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di Mesjid ini dikenang lewat
pembangunan prasasti Kohler pada halaman Mesjid. Letak prasasti di bawah pohon
Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang Mesjid.
Peletakan batu pertama pembangunan kembali
Mesjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur
Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan
mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan
Mesjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri
Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari
Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Pembangunan
kembali Mesjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen
Y. Jongejans berkuasa di Aceh Mesjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah
itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan
rakyat Aceh maka Mesjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian.
Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda
kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
Pada 1957, masa pemerintahan presiden
Soekarno, Mesjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang.
Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena
perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid
tergusur. Peletakan batu pertama dilakukan oleh menteri agama Republik Indonesia
pada masa itu KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan
berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Renovasi Mesjid yang
dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan
Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai
usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili
Pancasila yang digagas Soekarno. Pada kurun 1992-1995, Mesjid kembali dipugar
dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah
dipugar, Mesjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman Mesjid
juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Semua pemugaran ini dilakukan dengan
mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu
tiang peninggalan Belanda, ketika Mesjid masih berkubah satu, masih
dipertahankan. Arsitektur Mesjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai
unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.Ini misalnya tampak pada tiga
pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini
dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang
banyak terdapat di Mesjid-Mesjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara bagian
tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak
bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip Mesjid-Mesjid kuno di India. Pada jendela
yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk
menambah kemegahan dan keindahan, Mesjid ini ditempatkan di tengah lapangan
terbuka, sehingga semua bagian Mesjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Mesjid Baiturrahman menjadi saksi darurat
militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Baiturrahman ini menjadi
tempat memanjatkan doa dan harapan rakyat Aceh atas tanggungan beban konflik
yang dideritanya. Baiturrahman ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat
mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman yang konon merupakan
salah satu Mesjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana
tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian Mesjid. Rakyat
menyelamatkan diri kedalam mesjid sembari meneriakkan Asma Allah.
Pada halaman Mesjid inilah berdirinya posko
bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Mesjid ini tangguh
bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit
bangunan yang retak akibat gempa.
Pasca tsunami perdamaian datang. Mesjid ini
kembali menjadi bagian sejarah itu. Di Mesjid inilah warga menggelar doa khusus
ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di
Helsinki, Finlandia. Mesjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca
tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah,
kawasan Mesjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung
yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman Mesjid.
0 komentar:
Posting Komentar